Bio-teknologi kini sedang memasuki generasi ketiga dalam kemajuannya. Pada mulanya, generasi pertama bio-teknologi hanya meningkatkan efisiensi produksi tanaman, kemudian generasi kedua bio-teknologi mulai menambahkan nilai produk makanan dengan tambahan nutrisi. Generasi ketiga bio-teknologi mulai memanfaatkan tanaman seperti tembakau, jagung, padi dan kacang untuk penghasil protein untuk keperluan perubatan, seperti antibodi monoklonal, enzim dan protein darah.

Ikuti petikan daripada majalah Tempo (Edisi. 51/XXXII/16-22 Februari 2004, tulisan Dody Hidayat) di Indonesia mengenai penghasilan enzim daripada tembakau.

Hamparan daun tembakau itu seolah permukaan danau yang beriak pelan. Angin sesekali menggoda. Daun-daun subur hijau kekuningan itu pun berayun bak gelombang. Lamat-lamat, tercium bau harum. Enam bulan sejak bibit ditebar, tembakau itu kini sudah siap dipanen.

Tapi, ini bukan sembarang tembakau. Daun-daun harum itu tak bakal dijual ke pabrik rokok yang menjadi penyumbang utama penyakit kanker. Sebaliknya, inilah tembakau transgenik, tembakau yang materi genetiknya (DNA) sudah direkayasa sehingga kaya protein. Dengan rekayasa itu, daun-daun yang semula jadi musuh utama paru-paru justru bakal menjadi bahan terapi bagi penderita kanker paru, sumber insulin untuk pengidap diabetes melitus, atau bahan pasta gigi yang dapat mencegah gigi keropos. Inilah kebun tembakau yang lebih pantas disebut pabrik farmasi karena dapat menggantikan reaktor fermentasi yang biasa ada di pabrik obat kimia.

Tembakau istimewa ini memang baru angan-angan, belum sempat ditanam, apalagi dipanen. Lahannya pun belum lagi siap. Tapi, para peneliti di Pusat Penelitian Bioteknologi milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Cibinong, Jawa Barat, sudah memulai pekerjaan untuk mewujudkan impian besar itu.

Sembari menunggu lahan tembakaunya siap, tim LIPI yang dipimpin Doktor Arief Budi Witarto kini sedang menciptakan beberapa enzim - jenis protein yang berfungsi sebagai katalis reaksi dalam tubuh makhluk hidup. Misalnya, enzim yang dapat mengukur tingginya kadar gula dalam darah, mengenali kehadiran sel-sel kanker sedini mungkin, atau protein yang dapat mengobati penyakit anemia. Inilah proyek rekayasa protein, bidang penelitian yang sebetulnya masih tergolong baru di Indonesia.

Di dunia, penelitian rekayasa protein sudah dimulai sejak penemuan teknologi DNA (deoxyribonucleic acid) rekombinan pada 1973 yang memungkinkan produksi protein dalam jumlah besar. Bidang ini makin maju ketika ahli bioteknologi menemukan teknik perubahan asam amino penyusun suatu protein di situs yang diinginkan saja (site-directed mutagenesis) pada 1978. Memang, seperti namanya, rekayasa protein adalah upaya membuat suatu protein yang sesuai dengan keinginan si pembuat, misalnya untuk tujuan kedokteran atau mendiagnosis penyakit. Rekayasa protein dibutuhkan karena jumlah protein yang tersedia secara alamiah sangat rendah dan sifatnya hanya bertahan pada kondisi normal - di lingkungan cairan dan suhu tubuh.

Arief, yang lulus sebagai doktor bioteknologi dari Tokyo University of Agriculture and Technology di Jepang pada 2000 silam, itu sudah berpengalaman merekayasa protein. Ketika masih mahasiswa di Jepang, ia terlibat proyek pengembangan enzim yang disebut PQQ glucose dehydrogenase (PQQGDH). Enzim ini berguna mendiagnosis kadar gula darah pada penderita diabetes melitus. Caranya, dengan memasukkan enzim hasil rekayasa ke alat ukur elektronik menjadi sebuah biosensor glukosa.

Menurut Arief, untuk dapat menjadi biosensor, enzim ini harus memiliki karakter khusus. Dia harus kuat atau stabil pada suhu tertentu, misalnya suhu tubuh; berakurasi tinggi; dan produksinya banyak. Penelitian Arief selama sekitar 10 tahun berhasil menemukan apa yang membuat enzim PQQGDH kuat, yakni kuatnya pertautan antara ujung awal dan ujung akhir dari rantai protein yang berstruktur baling-baling beta itu. Berkat temuannya itu, awal bulan ini Arief menerima penghargaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dari Indonesia Toray Science Foundation, yayasan yang didanai perusahaan Jepang Toray Industries.

Tapi Arief, 33 tahun, tak berhenti di situ. Dengan bekal pengetahuan membuat biosensor glukosa, ia dan timnya merekayasa enzim lain bernama sialidase. Enzim ini mampu mengukur jumlah asam sialat di dalam sel. Dia berpijak pada berbagai penelitian sejak 1993 hingga 2003 yang menemukan bahwa, apa pun jenis sel kanker, selalu memiliki jumlah asam sialat lebih tinggi ketimbang sel normal. Dengan biosensor kanker ini, diagnosis kanker bisa dilakukan sedini mungkin pada tingkat sel. Pemakaiannya pun gampang, cukup meneteskan cairan tubuh yang berkait dengan kanker ke kertas penguji biosensor yang mengandung enzim sialidase. Tunggu beberapa saat, di layar biosensor akan muncul informasi tentang hasil pemeriksaan.

Dengan biosensor ini, diagnosis kanker menggunakan alat canggih CT-scan atau pencitraan resonansi magnetik (MRI) yang mahal tak lagi diperlukan. Biosensor juga lebih unggul dari analisis DNA karena mampu mengenali semua jenis kanker, tak hanya yang berkaitan dengan faktor keturunan, misalnya kanker payudara.

Di Indonesia, rekayasa protein masih barang baru. Sejauh ini, menurut Arief, hanya ada dua peneliti di dunia yang memfokuskan diri di bidang ini. Satu dari peneliti itu adalah Arief. Tak aneh kalau Nobelis dari Jepang, Profesor Ryoji Noyori, menyebutnya “the only one” di Indonesia. Di kalangan peneliti dunia, nama Arief pun diperhitungkan. Banyak hasil penelitiannya mengenai rekayasa protein menjadi rujukan penelitian lain.

Untuk bisa memproduksi enzim yang direkayasa itu dalam jumlah besar, Arief harus mengambil materi genetik atau DNA-nya, lalu menyisipkan ke dalam genom tanaman tertentu. Tahap ini adalah bagian dari teknologi tanaman transgenik. Tanaman dipilih karena kecil kemungkinan tercemar patogen.

Untuk proyek inilah Arief memilih tembakau. Alasannya, masa tanam tembakau relatif singkat, yakni enam bulan. Tanaman ini juga memiliki biomassa yang tinggi dan penelitian tembakau transgenik sudah banyak tersedia. Selain itu, banyak petani tembakau Indonesia berpenghasilan kecil lantaran sangat bergantung pada pabrik rokok. “Kalau ini berhasil, mereka bisa menjual tembakau transgeniknya ke perusahaan farmasi,” kata Arief. Citra tembakau pun bisa jadi berubah: dari sumber nikotin menjadi pabrik protein.